Sabtu, 21 Januari 2012

Penyembuhan Jaringan Tulang Trauma Dentoalveolar


            Trauma fraktur pada tulang didapatkan karena kondisi kekuatan luka trauma lebih kuat dari kekuatan tulang menahan tekanan tersebut. Seperti kondisi jaringan lainnya, didapatkan keadaan luka membentuk bekas luka, tulang pun memiliki kapasitas regenerasi perbaikan jaringan, (Berman, 2007) Penyembuhan fraktur yang memuaskan bergantung pada reduksi (mengembalikan fragmen-fragmen) yang adekuat, dan immobilisasi. (Pedersen, 1996). Penyembuhan fraktur tulang prinsipnya hampir sama dengan proses penyembuhan luka pada umumnya, bisa dapat secara primer maupun sekunder tergantung dari banyak faktor yang berpengaruh dalam penyembuhan tersebut. Perbedaannya justru pada hasil akhir penyembuhan tulang itu sendiri.
Penyembuhan tulang terbagi menjadi dua, Penyembuhan fraktur tulang secara primer, yaitu penyembuhan yang relative secara cepat tanpa pembentukan kalus terlebih dahulu. Penyembuhan secara primer dapat terjadi bila dilakukan excellent anatomic reduction, yaitu pengembalian posisi tulang fraktur secara anatomis sangat sempurna. Kedua, Penyembuhan tulang secara sekunder. Diartikan penyembuhan ini melalui tahapan pembentukan kalus yang berfungsi untuk mencegah atau mengurangi mobilitas antar fragmen tulang selama proses penyembuhan berlangsung. Penyembuhan ini terjadi bila perawatan dilakukan dengan metode tertutup tanpa intervensi bedah dan dilakukan fiksasi dengan semirigid.
            Secara rinci disebutkan Weinmann dan Sicher proses penyembuhan dalam 6 tahap penting:
1) Tahap Pembekuan darah atau clotting, maka akan terjadi kerusakan jaringan pembuluh darah, bone marrow, cortex, periosteum, otot-otot dan jaringan lunak di sekitar fraktur. Proses ini terjadi 6-8 jam. Pertama setelah fraktur.
2) Tahap organisasi bekuan darah. Pada daerah perdarahan terdapat fragmen-fragmen dari periosteum, otot, fascia, tulang dan bone marrow sebagian akan mengalami resorbsi dan pengeluaran dari daerah ini. Selanjutnya terjadi invasi kapiler ke dalam bekuan darah yang diikuti sel-sel fibroblaspada sekitar 24-48 jam. tahapan ini secara klinis terlihat hematom pada daerah sekitar trauma.(Berman, 2007) Hematom adalah perdarahan setempat yang membeku dan membentuk massa yang padat.(Pedersen, 1996) Hematom dapat meluas sepanjang atau periosteum, biasanya bermula sebagai pembengkakan rongga mulut, fasial atau keduanya yang sering berwarna merah atau ekhimotik. Keadaan ini terjadi selama 24-48 jam awal dari trauma yang terjadi pada jaringan tersebut menghasilkan proses aktif fagositosis dan lisis monosit dan pembentukan osteoklas yang membentuk jaringan granulasi. (Berman, 2007). Bentukan dasar kapiler pada bekuan darah akan mengecil dan berubah menjadi arteri untuk mensuplai daerah dimana terjadi fraktur. Proliferasi kapiler terus berlanjut hingga diluar daerah hematoma. Terlihat peningkatan Ca dan resorbsi tulang pada akhir fase ini, banyak disebabkan besarrnya aliran darah.
            Tahapan kedua yaitu reparative phase, keadan ini terjadi sekitar 4-40 hari yaitu proses proliferasi jaringan pembuluh darah sehingga terbentuk vaskularisasi untuk menghasilkan sel-sel fibroblast (Pedersen, 1996) untuk mendukung pembentukan fibrous  callus , hal terjadi pada kurun waktu selama fase reparatif dengan menghasilkan sejumlah banyak fiber kolagen. Dilanjutkan dengan pembentukan  sel tulang keras dan tulang rawan atau callus, sepanjang bagian dalam dan luar tulang yang fraktur. Callus menjadi keras dengan proses endochondral ossification dan mineralisasi dari tulang muda. (Berman, 2007) pada fase awal terbentuk callus ini secara struktural dibandingkan dengan tulang normal dapat dibedakan karena kandungan kalsium yang sangat minimal sehingga secara fisik sangat rentan, bahkan tidak tampak melalui foto radiografik. Callus terbentuk baik bagian luar mauoun dalam dari tulang fraktur. Bagian luar callus dibatasi septum fibrous. Dengan meningkatnya pembuluh darah didalam septa, keadaan hipoksemia menjadi berbalik dan terjadi perubahan segera secara simultan yaitu, Kalsifikasi tulang cartilage yang terbentuk dan terjadi perubahan chondroblas menjadi chondrosit. Dan meningkatnya osteoblast, sedangkan osteoclast menjadi lebih terlihat proses fisiologisnya. Pada saat terbentuknya eksternal callus, Internal callus juga bersamaan diantara dua fragmen tulang juga terjadi. Yaitu dengan pembentukan bony callus tanpa terjadi intermediate fibrocartilage, yaitu dimana osteoblas yang berperan langsung berasal dari endosteum. Fungsi callus adalah sebagai stabilizer pada daerah terjadinya fraktur, callus juga berpengaruh pada peningkatan kelembaban jaringan yang berimplikasi dengan meningkatkan kekuatan dan kekakuan tulang.
            Pembentukan secondary callus, merupakan struktur tulang dewasa yang menggantikan struktur tulang muda yang terbentuk pada kalus primer. Callus ini mengandung lebih banyak kalsium sehingga gambarannya dapat terlihat pada rontgenogram. Pembentukan kalus sekunder ini terlihat mirip seperti pembentukan endochondral yang terjadi pada saat pertumbuhan dan perkembangan dimana callus cartilaginous callus mengalami kalsifikasi menjadi tulang dewasa. Proses ini terjadi selama 30-60 hari.
            Tahapan ketiga yaitu, remodeling phase, keadaan ini terjadi sekitar 40-140 hari setelah trauma. Tulang menyatu kembali dengan terbentuknya tulang lamellar hingga pada akhir tahapan ini didapat bentukan tulang yang menyatu kembali yang kuat. Penyembuhan tulang primer dapat terjadi dengan reduksi yang terbentuk dari segmen-segmen yang yang menyatu, dengan kondisi yang mobilitas minimal atau sama sekali tanpa mobilitas. Keadaan ini dapat dicapai dengan reduksi terbuka dan fiksasi rigid antar gigi. pada penyembuhan tulang sekunder, terdapat jaringan fibrokartilago diantara celah fraktur. Yang kemudian menjadi tulang. (Berman, 2007) Proses remodeling dapat terpacu dengan apabila tulang yang yang fraktur digunakan untuk aktivitas kembali (Pedersen, 1996)
            Penyembuhan dari fraktur tulang alveolar dapat terganggu dengan kondisi, asupan nutrisi yang buruk, kondisi kelainan pada pasien, kelainan endokrin seperti diabetes mellitus, trauma oklusi, fiksasi yang tidak adekuat pada sgmen yang fraktur. Reduksi yang tidak adekuat dapat memungkinkan terjadinya infeksi pada jaringan lunak yang terletak diantara teoian tulang pada fraktur.(Berman, 2007)

Daftar Pustaka:
Berman, Blanco, Cohen. A Clinical Dental Traumatology. 1st ed. Mosby co. Missouri 2007; p:137, 142
Pedersen, Gordon W. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Alih bahasa Purwanto, drg., Basoeseno, MS., drg. EGC. Jakarta. 1996; h.94, 234.
Roberto M S,  Buku Ajar Proses Penyembuhan Fraktur Tulang. Seksi Trauma Bagian Bedah Mulut. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga 2003
Disusun oleh: Ufo Pramigi 020710021

Tidak ada komentar: